Suara Sahabat Jogja. Diberdayakan oleh Blogger.
Configure your calendar archive widget - Edit archive widget - Flat List - Newest first - Choose any Month/Year Format

Pengikut

RSS

Kapitalisasi Tubuh Perempuan

Oleh: Imam S Arizal

Melihat kian meledaknya industri film Indonesia, orang bisa saja menyimpulkan bahwa ada kemajuan yang signifikan dalam dunia perfilman kita, baik dari segi kuantitas atau pun kualitasnya. Banyak film-film yang dimunculkan oleh sineas lokal dengan kualitas yang mampu menyaingi film-film mancanegara. Meski tidak mampu menyaingi produksi film Hollywood, setidaknya film Indonesia sudah mampu mewarnai bioskop-bioskop dalam negeri.
Namun demikian, meledaknya industri film nasional dan tingginya minat penonton tidak selamanya bermakna positif. Bagi penonton Indonesia pada umumnya kualitas film yang baik belum menjamin akan banyak ditonton dan diapresiasi. Mereka masih memandang film sebagai hiburan semata belum sampai taraf menikmati dan kritis terhadap kualitas film.
Tanpa berpretensi negatif, film-film yang beredar dalam tiga tahun terakhir masih jauh dari ideal. Film nasional belum menemukan jati dirinya yang sebenarnya. Seakan-akan keberadaan film kita hanya sebatas hiburan sesaat yang tak memiliki kebermaknaan. Potret film nasional masih terlalu buram. Film hanya menjadi hiburan semata dan kehilangan makna kebudayaannya.
Kapitalisasi Tubuh
Perkembangan film senantiasa tidak bisa lepas dari logika industri. Film horor menjadi trend dalam tiga tahun terakhir karena banyak diminati masyarakat. Secara materi, film horor sangat menguntungkan bagi para sineas. Itulah sebabnya, materi selalu memotivasi sutradara untuk berpacu dalam berkreativitas. Sebab penggarapan film yang bagus membutuhkan materi yang “bagus” pula. Oleh karenanya film selalu saja berbanding lurus dengan kebutuhan konsumen, pasar.
Tarik menarik menarik antara idealisme dan pragmatisme inilah yang sampai kapan pun akan tetap terjadi. Sebagai suatu bentuk budaya pop abad kedua puluh, maka tidak bisa dipungkiri bahwa ideologi kapitalisme akan meracuni muatan di dalam film. Tidak bisa dipungkiri bahwa sejatinya industri film adalah masalah profit-oriented.
Cengkraman kapitalisme inilah yang pada akhirnya melahirkan bencana pada perfilman kita, yakni kapitalisasi tubuh perempuan. Tak heran bila beberapa tahun terakhir film horor yang disuguhi adegan-adegan panas menjadi trend utama film Indonesia. Bahkan untuk menarik minat konsumen, para pemain seks seperti Miyabi pun ikut menjadi pemeran film nasional. Artis-artis bertubuh seksi nasional pun menjadi incaran sutradara film horor, sebut saja Julia Perez, Andi Soraya, Dewi Persik, dan sebagainya.
Fenomena  film horor meskipun secara kualitas belum bisa diandalkan namun antusiasme penonton terhadap tontonan ini tetap tinggi. Akan lebih menarik lagi jika horor dikombinasikan dengan film berbau esex-esex. Dari survey yang dilakukan koran Tempo (28/03/2010), Horor Mesum semacam Suster Keramas, Dendam Pocong Mupeng, Kain Kafan Perawan, punya penonton yang cukup banyak  sekitar 200.000 sampai 800.000 penonton. Bahkan film yang dibintangi oleh Tamara Blezinsky mampu menembus 1,4 jutaan penonton(Air Terjun Perawan).
Bisnis film memang super mahal. Kalau bermodalkan semangat idealisme, tentu berisiko besar. Dibutuhkan produksi film yang menjual, yang secara mutu bisa disandingkan dengan tayangan hiburan lainnya. Tidak hanya mendatangkan iklan, tetapi juga ditonton sebanyak mungkin orang—alias memuaskan selera pasar sekaligus pengiklan—yang dibuktikan dengan rating.
Dalam buku An Introduktion to Theories of Popular Culture, Dominic Strinati (1995) mengemukakan bahwa lahirnya budaya massa maupun semakin meningkatnya komersiliasi budaya dan hiburan ternyata semakin melebarnya kekuatan para kapitalis dalam menguasai perekonomian, dengan memunculkan sebuah wacana ekonomi pasar. Tak pelak, fenomena ini pada akhirnya mengakibatkan segala hasil kreativitas budaya mau tidak mau harus bertarung untuk merebut pangsa pasar untuk mendapatkan keuntungan dari khalayak konsumen massa.
Pada tahap ini sangat tampak tarik-menarik antara idealisme sutradara untuk berkreativitas dan kepentingan kaum borjuis yang memegang kendali dunia perfilman. Sebuah pertarungan yang sangat kontras mengingat unsur terpenting dalam berkarya sangat identik dengan totalitas dan pengabdian pada karya demi mencapai hasil ideal. Sementara itu budaya massa dengan menganut ideologi pasar lebih menitikberatkan pada keuntungan finansial. Dan, fenomena yang tidak bisa dimungkiri bahwa ketika ada pertarungan antara idealisme dan kapitalisme, yang terjadi justru idealisme itu sendiri yang runtuh.
Mencari Jalan Keluar
Meski film berada dalam cengkeraman kapitalisme bukan berarti harus menelantarkan idealisme kita dalam berkarya. Sisi kearifan lokal, moralitas dan edukasi tetap harus diperhatikan agar film yang diproduksi tetap memiliki makna di hari masyarakat. Sisi kebermaknaan harus ditanamkan dalam film memancarkan pesan dan kesan di hati penontonnya.
Film tidak harus berkiblat pada ideologi kapitalisme hingga harus mengahalami ”inflasi individu” dalam berkarya. Film Indonesia juga tidak mesti menjiplak gaya film Hollywood. Semisal, meminjam istilah Bambang Sugiharto (2006), harus menyuguhkan hal-hal yang paling tersembunyi dalam diri, wilayah gelap yang paling tabu, tak terduga dan liar, serta mengeksplorasi wilayah insting-insting paling purba, ganas, dan keras.
Sejatinya, karakter film semacam itu tidak cocok untuk bangsa Indonesia. Namun karena para sineas-sineas kita masih saja terjebak pada paradigma industri, hal-hal tabu malah kian menjangkiti film nasional. Seks, pornografi dan pornoaksi, serta kehidupan dunia glamour masih menjadi tema-tema yang laris di pasaran. Padahal dari segi kebermaknaan, tema-tema tersebut sangat kering dan kropos.
Realitas perfilman semacam inilah yang barangkali penting diperbincangkan pada momentum Hari Film Nasional, 30 Maret tahun ini. Sudah waktunya kita urun rembuk tentang karakter film Indonesia yang sebenarnya. Film yang tidak hanya lata pada kemegahan industri film Barat.
Layaknya kesenian-kesenian lainnya, film harus merekam kekayaan budaya Indonesia. Nilai-nilai kebangsaan, spirit nasionalisme, gotong royong, toleransi, kearifan teologis, teologi-kosmologi, adalah tema-tema yang patut dimasukkan dalam industri film. Film juga harus menjadi ajang kritik-otokritik terhadap kehidupan kita, semisal berisi kampanye anti korupsi, pembongkaran makelar kasus, serta meledaknya terorisme beberapa tahun terakhir. Kita tunggu saja sineas-sineas itu bekerja.

   Imam S Arizal, Divisi Media dan Jaringan Komisariat PMII UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS